Bank Syariah Sama Saja Dengan Bank Konvensional, Benarkah?

Pertanyaan:
Assalamu alaikum wr wb.

Ustadz, ada yang bilang bahwa bank syariah sama saja dengan bank konvensional. Yang berbeda hanya dalam istilah saja, sedangkan hakikatnya dua duanya mengandung riba.

Sebagai muslim, kita dianjurkan mengambil kredit pemilikan rumah (KPR) via bank syariah, yang konon tidak memperlakukan adanya bunga. Memang benar bahwa di bank syariah mungkin namanya bukan bunga, tapi diganti dengan istilah lain. Padahal hakekatnya sama.

Benarkah pendapat seperti itu ustadz? Andai jawabannya benar bank syariah mengandung riba, terus bagaimana cara mendapatkan rumah yang islami? Apa kudu bersabar dengan menabung sampai uang terkumpul dulu baru beli rumah ?

Zaman sekarang kalau tidak kredit tidak bisa punya rumah, mobil, motor dan lainnya. Begitu kata orang-orang. Mohon pencerahannya, terimakasih

Jawaban:
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Masalah yang Anda tanyakan ini sebenarnya sudah lama jadi bahan perdebatan, dan sampai sekarang belum mendapatkan titik temu yang memuaskan semua pihak.

Perdebatan itu terjadi antara, sebut saja, para pendukung bank syariah dengan pihak yang tidak mendukung. Dan kita menyaksikan memang perdebatannya cukup seru, masing-masing yakin sekali dengan kebenaran argumentasinya.

1. Pendapat Pihak Pendukung Bank Syariah
Para penggagas dan pendukung bank syariah di Indonesia punya beragam argumentasi dan dalil, ketika ada pihak-pihak yang meragukan kehalalan sistem keuangan yang mereka gunakan. Di antara argumen yang biasanya digunakan adalah hal-hal berikut ini :

a. Jaminan Halal Dari Dewan Syariah Nasional
Keberadaan Dewan Syariah Nasional (DSN) seolah-olah menjadi the body guard bagi bank-bank syariah yang tumbuh bak jamur di musim hujan. DSN inilah yang dengan tegas menjamin kehalalan semua praktek bank syariah.

Kalau mau tahu rincian seperti apa cara mereka berargumen, silahkan baca sendiri fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang dibidani oleh Majelis Ulama Indonesia ini.

Dengan adanya fatwa-fatwa versi DSN itu, maka bank-bank syariah di Indonesia akhirnya merasa sudah tidak ada batu sandungan lagi dalam hukum-hukum syariah. Ada  ‘jaminan halal’ dari DSN dan MUI.

b. Argumen: DSN Orang Pintar Mengerti Syariah
Argumentasi kedua masih terkait dengan sosok keberadaan Dewan Syariah Nasional. Pihak pendukung bank syariah biasanya akan mengatakan bahwa orang-orang yang duduk di Dewan Syariah Nasional itu adalah para pakar yang paling paham dan mengerti hukum halal haram dalam fiqih muamalat.

Tidak sedikit dari mereka yang bergelar doktor, kiyai, ulama dan juga para praktisi perbankan. Kalau ada orang yang paling tahu masalah perbankan syariah di negeri kita, maka orang-orang yang duduk di Dewan Syariah Nasional itulah orangnya.

c. Argumen: Permakluman
Selain jaminan di atas, biasanya para pendukung fanatik bank syariah akan berargumen klasik begini : Namanya juga bank yang masih baru dan kecil, tentu tidak bisa diajak bersaing dengan bank-bank yang sudah besar.

Maksudnya, bank syariah itu dianggap masih kecil, sehingga wajar kalau menarik ‘keuntungan’ yang jauh lebih besar. Sedangkan bank-bank konvensional itu dianggap bank kelas kakap, jadi wajar mereka bisa harga semurah-murahnya dan bunganya menjadi rendah.

d. Argumen: Siapa Lagi Kalau Bukan Kita?
Dan biasanya argumen permakluman di atas masih ditambahi lagi dengan argumen sentimen keberpihakan, seperti uangkapan bahwa kita masih dalam proses menuju sempurnanya penerapan syariat Islam dalam perbankan syariah.

Sehingga meski belum sepenuhnya sejalan dengan syariah Islam, tetapi bukan berarti tidak didukung. Kalau bukan kita umat Islam yang mendukung bank-bank syariah, lantas siapa lagi yang diharapkan untuk mendukungnya?

Dan biasanya, kalau sudah diberi penjelasan seperti ini, banyak pihak yang tadinya menetang bank syariah, lantas mengangguk-angguk tanda setuju.

e. Bank Syariah di Negara Lain Pun Seperti Ini
Selain berlindung di balik DSN, biasanya bank-bank syariah juga berlindung di balik bank-bank syariah di negara lain, yang juga banyak menjalankan praktek yang sama.

2. Pihak yang Tidak Mendukung Bank Syariah
Sementara itu, tidak sedikit pihak-pihak yang masih belum puas dan mempertanyakan praktek-praktek di dalam bank syariah kita yang disinyalir masih belum bisa 100% dijamin sejalan dengan syariah Islam.

Menurut mereka, masih terlalu banyak celah dan lubang yang menganga, dimana kita bisa melihat dengan amat jelas di dalamnya ada begitu banyak pelanggaran syariat Islam.

Bahkan meski sudah ada semacam Dewan Pengawas Syariah (DPS) di level internal atau pun Dewan Syariat Nasional (DSN) dari eksternal, namun banyak yang menilai bahwa celah dan lubang pelanggaran syariah masih tetap nampak nyata.

Apa yang disebut sebagai pelanggaran itu, menurut banyak pihak ada dua macam.

Pertama: pelanggaran pada hukum, aturan dan ketentuan yang dibuat oleh Dewan Syariah Nasional sendiri sebagai wasit. Setidaknya ada banyak pendapat yang marjuh tetapi demi mencari hilah, justru digunakan dan yang sudah rajih serta disepakati para ulama malah ditinggalkan.

Kedua:  pelanggaran yang dilakukan oleh pihak bank syariah sendiri sebagai pemain atau operator. Dalam hal ini sebenarnya DSN tidak memperbolehkan, namun apa yang telah ditetapkan oleh DSN itu kemudian coba ditafsir ulang sedemikian rupa, sehingga seolah-olah fatwa DSN itu dianggap membenarkan.

Dalam prakteknya, kedua jenis celah ini cukup banyak ditemukan, khususnya menurut kaca mata para penentang bank syariah.

Salah satu celah itu adalah masih banyaknya penggunaan alibi atau hilah yang didesain sedemikian rupa untuk menutup celah itu, dengan tujuan untuk menambalhnya. Namun seiring dengan berjalannya waktu, tambalan-tambalan yang tidak sempurna itu semakin nampak nyata.

Contoh sederhananya adalah penggunaan istilah ‘bagi hasil’, yang mana istilah itu terkesan milik syariat Islam. Namun dalam kenyataannya, apa yang disebut dengan bagi hasil itu, oleh sementara pihak, dianggap masih tidak ada bedanya dengan bunga riba dan renten lintah darat.

Sebab yang namanya bagi hasil itu seharusnya mengacu kepada hasil yang belum bisa ditetapkan nilainya. Kalau sudah beroperasi, lalu ada pemasukan, dan pemasukan dikeluarkan dengan biaya operasional dan lainnya, barulah nanti ada hasilnya. Maka hasilnya itulah yang seharusnya dibagi sesuai dengan kesepakatan antara bank dengan peminjam.

Sayangnya, istilah bagi hasil yang digunakan oleh banyak bank syariah itu ternyata jauh berbeda. Istilah boleh sama, tetapi kenyataannya jauh sekali. Ketika seorang mendapatkan pinjaman uang di bank syariah, belum apa-apa sudah ditetapkan bahwa nanti hasilnya harus sekian. Jadi nanti bagi hasilnya pun juga sudah ditetapkan berapa persen dari hasil itu.

Alasannya pun klasik sekali, terlalu sulit untuk bisa menghitung hasil dari sebuah usaha tiap bulan. Jadi karena sulit untuk menghitungnya, sejak awal sudah dipastikan saja secara flat, biar tidak merepotkan. Tetapi penetapan secara flat ini tetap ada ketentuan dan rujukannya. Tahukah apa yang jadi rujukannya? Ya, tidak lain adalah suku bunga. Waah . . .

Aneh bin ajaib, bukan? Bayangkan, baru saja uang pinjaman itu diberikan dan belum ada operasional apa pun, tetapi sejak awal akad dibuat, keuntungannya harus sudah DITETAPKAN DI AWAL!!

Benar-benar ketahuan sekali permainannya. Mana ada ceritanya orang dagang atau usaha, belum lagi mulai beraktifitas, tiba-tiba hasil atau keuntungannya sudah bisa dipastikan sejak awal? Dan karena itu ketentuan pembagian dari hasilnya juga sudah ditetapkan. Inilah yang namanya mengada-ada alias ngawur bin ngasal.

Dan wajar sekali kalau tata cara ‘tipu-tipu’ seperti ini memanen banyak tuduhan miring yang dialamatkan ke bank-bank yang berlabel syariah.

Maka wajar kalau umat Islam masih harus mengalami dilemma pelik, yaitu antara pilihan menggunakan bank konvensional yang bunganya rendah dan hukumnya haram, dengan pilihan menggunakan bank syariah yang konon tanpa bunga, tetapi diganti dengan istilah bagi hasil, tetapi nilainya seringkali jauh lebih tinggi. Dan hukumnya? Wallahua’lam.

Sebenarnya yang jadi masalah utama bukan besar atau kecilnya bunga atau bagi hasil, tetapi penggunaan ‘kamuflase’ istilah bunga menjadi bagi hasil. Hakikatnya bunga, tetapi dinamakan bagi hasil. Inilah ‘dosa-dosa besar’ bank-bank syariah menurut para penentangnya.

Kesimpulan
1.
 Kedepan, apa yang telah difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional tentu sangat boleh untuk dikritisi dan dilengkapi lagi. Sebab fatwa itu akan selalu berubah seiring dengan perubahan zaman dan keadaan. Fatwa tidak boleh mandeg dan stagnan, karena fatwa bukan kitab suci yang turun dari langit.

2. Kadang pelanggaran syariat berada pada pihak operator, yaitu bank syariah dan bukan pada fatwanya. Kalau pelanggaran jenis ini terjadi, maka bisa dipertanyakan kembali itikad baik bank syariah tersebut. Apakah semata hanya mengejar keuntungan atau masih punya idealisme menjalankan agama.

3. Bagi kita, perbedaan pendapat antara pihak yang mendukung bank syariah dengan yang tidak mendukung jangan dijadikan bahan permusuhan. Mari kita hargai perbedaan ini dengan hati yang lapang.

4. Bagi mereka yang memandang bahwa pada prakteknya ternyata yang dilakukan oleh bank syariah itu sekedar kamuflase, padahal esensinya tetap riba dan haram, maka tidak tertutup kemungkinan untuk meninggalkannya. Sebab pinjam uang dari bank syariah itu hukumnya bukan wajib, apalagi bila ada indikasi yang kurang sejalan dengan syariah, maka meninggalkannya malah lebih baik.

5. Bagi yang 100% meyakini haramnya ‘bunga’ di bank syariah, bukan berarti bunga bank di bank konvensional berubah jadi halal. Bunga bank konvenional tetap masih 100% haram dan tidak berubah jadi halal.

Namun bila kedudukannya sama-sama haram dan semua pintu yang halal tertutup sudah, masuk akal kalau ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa pilihannya adalah haram yang madharatnya paling ringan, yaitu yang bunganya lebih rendah. Jadi pinjam uang dari bank konvensional tetap haram, tetapi lebih rendah nilainya.

Namun pendapat ini tentu saja tidak disetujui oleh semua pihak, khususnya para pendukung bank syariah. Menurut mereka, kalau sama-sama haram, tetap harus pinjam dari bank konvensional.

Dan perdebatan tidak pernah berhenti.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Oleh: Ahmad Sarwat, Lc., MA

Sumber: rumahfiqih.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Bank Syariah Sama Saja Dengan Bank Konvensional, Benarkah?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel